Sabtu, 16 April 2011

GEOPOLITIK INDONESIA

BAB VII
GEOPOLITIK INDONESIA



A. WILAYAH SEBAGAI RUANG LINGKUP
1. Pengertian Geopolitik
Istilah geopolitik semula oleh pencetusnya, Frederich Ratzel (1844-1904), diartikan sebagai ilmu bumi politik (Political Geography). Istilah geopolitik dikembangkan dan diperluas lebih lanjut oleh Rudolf Kjellen (1864-1922) dan Karl Haushofer (1869-1946) menjadi Geographical Politic. Perbedaan kedua artian tersebut terletak pada fokus perhatiannya. Ilmu Bumi Politik (Political Geogra¬phy) mempelajari fenomena geografi dari aspek politik, sedangkan geopolitik (Geographical Politic) mempelajari fenomena politik dari aspek geografi. Geo¬politik dapat diartikan sebagai Ilmu Bumi Politik Terapan (Applied Political Geography).

2. Teori Geopolitik
a. Teori Geopolitik Frederich Ratzel
Pokok-pokok teori Ratzel, disebut Teori Ruang, menyebutkan bahwa:
a. Pertumbuhan negara mirip dengan pertumbuhan organisme (makhluk hi¬dup), yang memerlukan ruang hidup (lebensraum) cukup agar dapat tumbuh dengan subur melalui proses lahir, tumbuh, berkembang, mempertahankan hidup, menyusut, dan mati.
b. Kekuatan suatu negara harus mampu mewadahi pertumbuhannya. Makin
luas ruang dan potensi geografi yang ditempati oleh kelompok politik dalam arti kekuatan makin besar kemungkinan kelompok politik itu tumbuh.
c. Suatu bangsa dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya tidak terlepas dari hukum alam. Hanya bangsa yang unggul saja yang dapat bertahan hidup terus dan berlangsung.
d. Apabila ruang hidup negara sudah tidak dapat memenuhi keperluan, ruang itu dapat diperluas dengan mengubah batas-batas negara baik secara damai maupun melalui jalan kekerasan atau perang.

Pandangan Ratzel tentang geopolitik menimbulkan dua aliran kekuatan, yaitu ;
1. Berfokus pada kekuatan di darat (kontinental) dan
2. Berfokus pada kekuatan di laut (maritim).

Melihat adanya efek persaingan dua aliran kekuatan yang bersumber dari teorinya, Ratzel meletakkan dasar-dasar suprastruktur geopolitik, yaitu bahwa kekuatan suatu negara harus mampu mewadahi pertumbuhan kondisi dan kedudukan geografinya. Dengan demikian, esensi pengertian politik adalah penggunaan kekuatan fisik dalam rangka mewujudkan keinginan atau aspirasi nasional suatu bangsa. Hal ini sering ke arah politik adu kekuatan dan adu kekuasaan dengan tujuan ekspansi.

b. Teori Geopolitik Rudolf Kjellen
Pokok-pokok teori Kjellen dengan tegas menyatakan bahwa negara adalah suatu organisme hidup. Pokok teori tersebut terinspirasi oleh pendapat Ratzel yang menyatakan bahwa negara adalah suatu organisme yang tunduk pada hukum biologi, sedangkan pokok teori Ratzel mencoba menerapkan meto-dologi biologi teori Evolusi Darwin yang sedang popular di Eropa pada akhir abad ke-19 ke dalam teori ruangnya.
Pokok-pokok Teori Kjellen menyebutkan:
a. Negara merupakan satuan biologis, suatu organisme hidup, yang memiliki
intelektualitas. Negara dimungkinkan untuk mendapatkan ruang yang cukup
luas agar kemampuan dan kekuatan rakyatnya dapat berkembang secara
bebas.
b. Negara merupakan suatu sistem politik yang meliputi geopolitik, ekonomi
politik, demo politik, dan krato politik (politik memerintah).
c. Negara harus mampu berswasembada serta memanfaatkan kemajuan kebudayaan dan teknologi untuk meningkatkan kekuatan nasionalnya ke dalam untuk mencapai persatuan dan kesatuan yang harmonis dan ke luar untuk mendapatkan batas-batas negara yang lebih baik. Sementara itu, kekuasaan Imperium Kontinental dapat mengontrol kekuatan maritim.


c. Teori Geopolitik Karl Haushofer
Pokok-pokok teori Haushofer pada dasarnya menganut teori Kjellen dan bersifat ekspansionis serta rasial, bahkan dicurigai sebagai teori yang menuju kepada peperangan. Kecurigaan itu disebabkan oleh pendapat yang mengutip pernyataan Herakleitos, bahwa "Perang adalah bapak dari segala hal atau dengan kata lain, Perang merupakan hal yang diperlukan untuk mencapai kejayaan bangsa dan negara. Teori Haushofer berkembang di Jerman dan mempengaruhi Adolf Hit¬ler. Teori ini pun dikembangkan di Jepang dalam ajaran Hako Ichiu yang dilandasi oleh semangat militerisme dan fasisme. Inti teori Haushofer adalah:
a. Suatu bangsa dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya tidak terlepas
dari hukum alam.
b. Kekuasaan Imperium Daratan dapat mengejar kekuasaan Imperium Maritim
untuk menguasai pengawasan di laut.
c. Beberapa negara besar di dunia akan timbul dan akan menguasai Eropa,
Afrika, dan Asia Barat (Jerman dan Italia) serta Jepang di Asia Timur Raya.
d. Geopolitik adalah doktrin negara yang menitikberatkan perhatian kepada
soal strategi perbatasan.
e. Ruang hidup bangsa dan tekanan kekuasaan ekonomi dan sosial yang rasial
mengharuskan pembagian baru dari kekayaan alam di dunia.
f. Geopolitik adalah landasan ilmiah bagi tindakan politik dalam perjuangan
mendapatkan ruang hidup.

d. Teori Geopolitik Sir Halford Mackinder
Pokok teori Mackinder menganut "konsep kekuatan darat" dan mencetuskan Wawasan Benua. Teorinya menyatakan: Barang siapa dapat menguasai "Daerah Jantung", yaitu Eurasia (Eropa dan Asia) akan dapat menguasai 'Pulau Dunia", yakni Eropa, Asia, dan Afrika. Barang siapa dapat menguasai pulau dunia akhirnya dapat menguasai dunia.

e. Teori Geopolitik Sir Walter Raleigh dan Alfred Thyer Mahan
Pokok teori kedua ahli tersebut menganut "konsep kekuatan maritim" dan mencetuskan Wawasan Bahari, yaitu kekuatan di lautan. Teorinya menya¬takan: Barang siapa menguasai lautan akan menguasai "perdagangan". Mengu¬asai perdagangan berarti menguasai "kekayaan dunia" sehingga pada akhirnya akan menguasai dunia.

f. Teori Geopolitik William Mitchel, Albert Saversky, Giulio
Douhet, dan John Frederick Charles Fuller

Keempat ahli geopolitik ini melahirkan teori Wawasan Dirgantara, yaitu kekuatan di udara. Dengan pemikiran bahwa kekuatan di udara memiliki daya tangkis yang dapat diandalkan untuk menangkis ancaman dan melumpuhkan kekuatan lawan.

g. Teori Geopolitik Nicholas F. Spykman
Pokok teori Spykman disebut "Teori Daerah Batas" atau "Teori Wawasan Kombinasi", yaitu teori yang menggabungkan kekuatan darat, laut, dan udara yang dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi suatu negara.

3. Indonesia sebuah Negara Kepulauan
a. Zaman Kolonial Belanda
Di zaman kolonial Belanda, wilayah Indonesia berupa wilayah daratan saja, sedangkan wilayah laut tentorial tidak pernah diukur. Kemudian berdasarkan Ordonansi Tahun 1939 (Teratoriale Zee en Maritieme Ktingen Ordonnantie 1939) lebar laut wilayah Hindia Belanda adalah 3 mil diukur dari garis air rendah di pantai setiap pulau. Dengan perkataan lain, batas laut teritorial yang termaktub dalam Ordonansi 1939 itu membagi wilayah daratan Indonesia dalam bagian-bagian terpisah dengan teritorialnya sendiri-sendiri. Ketentuan Ordonansi 1939 terpaksa digunakan pula oleh Indonesia merdeka karena UUD 1945 tidak menentukan batas-batas wilayah Republik Indonesia. Di dalam Pembukaan UUD 1945 hanya menyebutkan "Segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia".

b. Deklarasi Djuanda
Sebagai sebuah wilayah berdaulat, pemerintah Indonesia menyadari bahwa ketentuan Ordonansi 1939 tidak sesuai dengan kepentingan bangsa Indone¬sia. Oleh karena itu, pada tanggal 13 Desember 1957 pemerintah Indonesia mengeluarkan pengumuman mengenai wilayah perairan Indonesia yang ke¬mudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda, yang menyatakan:
a. Bahwa bentuk geografi Indonesia sebagai suatu negara kepulauan memiliki
sifat dan corak tersendiri.
b. Bahwa menurut sejarah sejak dulu kala kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan.
c. Bahwa batas laut teritorial yang termaktub dalam Ordonansi 1939 memecah keutuhan teritorial Indonesia karena membagi wilayah daratan Indonesia ke dalam bagian-bagian terpisah dengan teritorialnya sendiri-sendiri.

Tujuan inti Deklarasi Djuanda adalah:
a. Perwujudan bentuk wilayah NKRI yang utuh dan bulat
b. Penentuan batas-batas wilayah negara Indonesia disesuaikan dengan asas
negara kepulauan (Archipelagic State Principle).
c. Pengaturan lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keselamatan
dan keamanan NKRI.

Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa lalu lintas damai di perairan pedalaman bagi kapal asing dijamin dan bahwa pendirian Indonesia akan dikemukakan dalam Konferensi Internasional mengenai Hukum Laut Internasional. Dalam konferensi hukum laut internasional yang diselenggarakan di Jenewa pada tahun 1958, Deklarasi Djuanda dipertegas dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No 4 Tahun 1960 tertanggal 18 Februari 1960 (Lembaran Negara No. 22 Tahun 1960) tentang Perairan Indonesia. Sejak itu berubahlah bentuk wilayah nasional yang cara penghitungannya diukur 12 mil laut dari titik pulau terluar yang saling dihubungkan sehingga merupakan satu kesatuan wilayah yang utuh dan bulat. Oleh karena itu luas wilayah Indonesia menjadi 5.193.250 km2 dengan perincian luas daratan 2.027.087 km2 dan luas perairan nasional 3.166.163 km2 (terdiri atas laut teritorial dan laut nusantara). Selanjutnya Perpu No. 4 Tahun I960 diperkuat dengan Ketetapan MPR Tahun 1973,1978,1983,1988, dan 1993, konsep negara kepulauan dalam Deklarasi Djuanda ditetapkan sebagai "Wawasan dalam mencapai tujuan pembangunan nasional". Perjuangan mewujudkan konsep wawasan nasional yang dilakukan sejak tahun 1957 itu baru berhasil setelah diterimanya Hukum Laut Internasional III Tahun 1982, pokok-pokok asas negara kepulauan diakui dan dicantumkan dalam UNCLOS (united Nation Convention on the Law of the Sea atau Konvensi PBB tentang Hukum Laut). Pemerintah Indonesia meratifikasi UNCLOS 82 melalui Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 pada tanggal 31 Desember 1985. Berlakunya UNCLOS 82 berpengaruh pada upaya pemanfaatan laut bagi kesejahteraan, seperti bertambah luasnya Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen In¬donesia.

c. Landas Kontinen dan ZEE
Pada tanggal 17 Februari 1969, pemerintah Indonesia mengeluarkan Deklarasi tentang Landas Kontinen, dengan pertimbangan pokok sebagai berikut.
a. Segala sumber mineral dan sumber kekayaan alam lainnya, termasuk
organisme-organisme hidup pada dasar laut dan tanah di bawahnya di landas
kontinen, merupakan milik eksklusif negara RI.
b. Dalam hal landas kontinen Indonesia, bagian-bagian dalam yang terdapat
pada landas kontinen atau kepulauan Indonesia yang berbatasan dengan
suatu negara lain, pemerintah Indonesia bersedia melalui perundingan de¬ngan negara bersangkutan menetapkan suatu garis batas sesuai dengan
prinsip-prinsip hukum dan keadilan.
c. Menjelang tercapainya persetujuan seperti dimaksud di atas, pemerintah
Indonesia akan mengeluarkan izin untuk mengadakan eksplorasi serta memberikan izin untuk produksi minyak dan gas bumi dan untuk eksploitasi
sumber-sumber mineral ataupun kekayaan alam lainnya hanya untuk daerah
sebelah Indonesia dari garis tengah yang ditarik dari pantai dari pada pulau-
pulau Indonesia yang terluar.
d. Ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak akan mempengaruhi sifat serta
status dari pada perairan di atas landas kontinen Indonesia sebagai laut
lepas, demikian pula ruang udara di atasnya.

Pada tanggal 21 Maret 1980 pemerintah Indonesia mengumumkan ZEE Indonesia yang lebarnya 200 mil diukur dari garis pangkal laut wilayah Indo¬nesia. Di dalam pengumuman tersebut Indonesia menyatakan bahwa di dalam ZEE, Indonesia memiliki dan melaksanakan:
a. Hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan,
dan pelestarian sumber daya hayati dan nonhayati dan hak berdaulat lain
atas eksplorasi dan eksploitasi sumber tenaga dari air, arus, dan angin.
b. Hak yurisdiksi yang berhubungan dengan:
1. Pembuatan dan penggunaan pulau buatan, instalasi, dan bangunan lainnya,
2. Penelitian ilmiah mengenai laut,
3. Pelestarian lingkungan laut, sert
4. Hal lain berdasar hukum internasional.

ZEE Indonesia dikukuhkan dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tertanggal 18 November 1983. Pada tahun 1982 konvensi hukum laut memberikan perluasan yurisdiksi negara-negara pantai di lautan bebas. Hal lain yang sangat menguntungkan dari konvensi tersebut ialah diterimanya asas nusantara sebagai asas hukum internasional. Hasil konvensi tersebut disahkan pada bulan Agustus 1983 dalam seminar Konvensi Hukum Laut Internasional di New York. Dengan demikian, sah sudah rumusan "Negara RI adalah satu kesatuan wilayah laut yang didalamnya terhampar pulau besar dan kecil dengan jumlah 17.508 pulau". Dengan dikukuhkannya wilayah darat dan laut atau perairan, perjuangan bangsa Indonesia selanjutnya adalah menegakkan kedaulatan di ruang udara dan memperjuangkan kepentingan RI di wilayah antariksa nasional, termasuk Geo Stationery Orbit (GSO). Konvensi Paris 1919, yang kemudian disusul dengan Konvensi Chicago 1944, menetapkan pengertian ruang udara sebagai jalur ruang udara di atmosfir yang berisi cukup udara yang memungkinkan pesawat udara bergerak. Jarak ketinggian kedaulatan negara di atmosfir ditentukan oleh kesanggupan pesawat udara mencapai ketinggian. Pasal 1 Konvensi Paris 1919 yang kemudian diganti oleh Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 menyatakan bahwa setiap negara memiliki kedaulatan yang utuh dan eksklusif di ruang udara di atas wilayahnya (every state has complete and exclusive sovereignty in the airspace above its territory). Indonesia sebagai negara berdaulat menentukan batas wilayah udara dengan mengikuti sistem cerobong. Batas wilayah udara ditarik vertikal dari batas wilayah ke bawah dan ke atas.

















B. OTONOMI DAERAH
1. Pengertian Otonomi Daerah
Istilah otonomi berasal dari kata Latin authos yang berarti 'sendiri' dan nomos berarti 'mengatur dan mengurus'. Beberapa penulis memberi arti oto¬nomi sebagai "yelwetgeving" atau pengaturan perundang-undangan sendiri atau pemerintahan sendiri. Pengertian otonomi berkaitan erat dengan pengertian sentralisasi dan desentralisasi kekuasaan. Sentralisasi adalah pola kenegaraan yang memusatkan seluruh pengambilan keputusan politdk, ekonomi, dan sosial di Pemerintah Pusat. Seringkali pemerintah pusat hanya merupakan kelompok terbatas. Bagian-bagian negara tidak memiliki arti secara politis, ekonomis, dan sosial. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerin¬tahan dalam sistem NKRI. Dalam penyerahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Daerah terdapat beberapa bentuk atau ketentuan sebagai berikut dan istilah yang sering dipakai dalam hal yang berkaitan dengan otonomi, yakni ;
1. Daerah Otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
3. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4. Dekonsentrasi, yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah
Pusat kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dan atau kepada
instansi vertikal di wilayah tertentu.
5. Tugas Pembantuan, yaitu penugasan dari Pemerintah Pusat kepada Daerah
dan atau Desa dan dari Pemerintah Provinsi kepada Kabupaten/Kota dan
atau Desa serta dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Desa untuk me-
laksanakan tugas tertentu.

Merujuk pada pengertian di atas, Otonomi Daerah diartikan sebagai hak, kewenangan, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan meng¬urus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara itu, Daerah Otonom selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerin¬tahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI.

2. Prinsip Otonomi Daerah
a. Otonomi adalah pemberian keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah secara mandiri (self governing) sesuai situasi, kondisi, dan karakteristik daerah dalam lingkup wilayah negara. Oto¬nomi berkaitan dengan kemampuan daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pemban¬tuan.
b. Otonomi daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya dalam arti bahwa
daerah diberi kewenangan mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintahan Pusat Daerah memiliki
kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
c. Dalam menerapkan otonomi seluas-luasnya, didasarkan pada prinsip otonomi yang nyata, bertanggung jawah, dinamis, dan serasi. Otonomi nyata
berarti bahwa pemberian otonomi daerah harus didasarkan pada faktor-
faktor keadaan setempat yang memang benar-benar dapat menjamin daerah
bersangkutan mampu secara nyata mengatur rumah tangganya sendin. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama
dengan daerah lainnya. Otonomi yang bertanggung jawab dalam arti
bahwa pemberian otonomi benar-benar sejalan dengan tujuannya untuk
melancarkan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok tanah air, yang
pada akhirnya dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata. Otonomi yang dinamis dalam arti bahwa otonomi daerah tidak tetap,
tetapi dapat berubah, bertambah apabila pemerintah pusat menambah penyerahan urusannya kepada daerah, dan berkurang apabila urusan daerah
yang bersangkutan sudah menyangkut urusan nasional atau daerah tidak
mampu lagi mengurusi urusan yang sudah diserahkan, maka urusan tersebut
dapat ditarik menjadi urusan pemerintah pusat kembali. Otonomi yang
serasi dalam arti bahwa pelaksanaan pembangunan tetap dijaga keseimbangan antara daerah dan pemerintah pusat agar tidak terjadi ketimpangan
satu daerah dengan daerah lain. Otonomi daerah diselenggarakan untuk
menjamin keutuhan wilayah negara dan tetap tegaknya NKRI dalam rangka
mewujudkan tujuan negara.
d. Dalam menjalankan otonomi daerah, baik pemerintah pusat maupun dae¬rah memegang teguh prinsip berkeadilan dan berkeadaban, kegotongroyongan membangun kesejahteraan daerah dan masyarakat, permusyawaratan
dan meniadakan ketimpangan sosial-ekonomi serta ketimpangan antar-
daerah.

3. Tujuan Otonomi Daerah
a. Tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, Tujuan otonomi daerah adalah menjamin eksistensi NKRI secara mantap. Oleh karena itu, pemerintah pusat selalu mempertimbangkan secara sungguh-sungguh berbagai macam pelimpahan wewenangnya kepada daerah Dalam menjamin eksistensi NKRI, pemerintah pusat perlu mengembangkan pola pengawasan yang sistematis dan efektif yang mampu meniadakan ekses yang dapat mengganggu penyelenggaraan pemerintahan NKRI. Pola pengawasan tersebut tetap dapat memberikan keleluasaan, kebebasan, dan pengembangan dinamika sosial-ekonomi dan politik daerah serta menempatkan daerah yang patut dihormati dan diakui memiliki hak dan kewajiban dalam turut menyelenggarakan pemerintahan nasional NKRI, untuk menghindari timbulnya gerakan separatisme dan terjadinya proses disintegrasi.
b. Perwujudan Demokrasi dalam Pemerintahan Daerah, Perwujudan demokrasi dalam pemerintahan daerah berarti bahwa masyarakat daerah dilibatkan dalam perumusan kebijaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berorientasi pada aspek kehidupan politik, ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan daerah akan membentuk mekanisme pemerintahan daerah yang realistis dan efektif.
c. Perwujudan Kesejahteraan Rakyat dan Keadilan Sosial Daerah
Perwujudan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial daerah dengan meman-
faatkan dukungan kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat dalam meng-
garap potensi sumber daya daerah secara optimal, dengan dukungan kemam-
puan teknologi dan pendanaan dari pemerintah pusat dan investor, dalam
kerangka keberhasilan pembangunan nasional.
d. Pengembangan Kreativitas Sumber Daya Manusia di Daerah
Pengembangan kreativitas dan dinamika sumber daya manusia di daerah
perlu dilakukan antara lain melalui motivasi politik, ekonomi, sosial-budaya
dan teknologi. Potensi daerah perlu ditampilkan dan dikembangkan dalam
wujud kegiatan produktif secara profesional untuk menunjang pertumbuhan
sosial-ekonomi masyarakat daerah. Pengembangan kreativitas sumber daya
manusia daerah juga mendukung terwujudnya kesempatan kerja bagi ma¬
syarakat setempat atau daerah lain.
e. Pengembangan Karakteristik Daerah, Karakteristik daerah yang dimaksud adalah karakteristik yang bersifat fisik seperti keadaan geologi dan letak geografi, dan non-fisik seperti keadaan sosial-budaya. Setiap daerah secara otonom dapat mengembangkan karakteristik daerah yang dapat dijadikan faktor penggerak penyelenggaraan pe¬merintahan dan pembangunan di daerah.

4. Pembagian Urusan Pemerintahan
Pembagian dan pendistribusian kekuasaan atau wewenang dalam suatu pemerintahan diatur secara horisontal dalam bentuk kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif, sedangkan pendistribusian secara vertikal diatur dalam bentuk pelimpahan kekuasaan Pemerintah Pusat kepada Daerah. Otonomi daerah merupakan pola pendistribusian kekuasaan secara vertikal atau wewenang pemerintah pusat dan daerah. Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan-keamanan, peradilan (yustisi), moneter dan fiskal nasional, dan agama. Dalam urusan pemerintahan, yang menjadi kewenangan pemerintah pusat di luar urusan pemerintahan, pemerintah pusat dapat :
1. Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan,
2. Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan pusat kepada Gubernur selaku
wakil pemerintah pusat, atau
3. Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.

Urusan yang dilimpahkan kepada gubernur disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi.

Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah bersangkutan. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota. Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkat¬kan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah bersangkutan. Pelaksanaan ketentuan tersebut di atas diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut meliputi:
1. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut,
2. Pengaturan administratif,
3. Pengaturan tata ruang,
4. Penegakkan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau
yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah pusat,
5. Ikut serta dalam pemeliharaan keamanan, serta
6. Ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.

Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada asas umum penyelenggaraan negara yang terdiri atas :
1. Asas Kepastian hukum,
2. Asas Tertib penye¬lenggaraan negara,
3. Asas Kepentingan umum,
4. Asas Keterbukaan,
5. Asas Proporsionalitas,
6. Asas Profesionalitas,
7. Asas akuntabilitas,
8. Asas efisiensi, serta
9. Asas efektivitas.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah pusat menggunakan asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah memiliki hak :
1. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya,
2. Memilih pimpinan daerah,
3. Mengelola aparatur daerah,
4. Mengelola kekayaan daerah,
5. Memungut pajak daerah dan retribusi daerah,
6. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya yang berada di daerah,
7. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah, serta
8. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Dalam menyelenggarakan otonomi daerah, daerah memiliki kewajiban:
1. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan, dan kerukunan nasional, serta keutuhan NKRI,
2. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat,
3. mengembangkan kehidupan demokrasi,
4. mewujudkan keadilan dan pemerataan,
5. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan,
6. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan,
7. menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak,
8. mengembangkan sistem jaminan sosial,
9. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah,
10. mengembangkan sumber daya produktif di daerah,
11. melestarikan lingkungan hidup,
12. mengelola administrasi kependudukan,
13. melestarikan nilai sosial-budaya,
14. membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya, serta
15. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Penge¬lolaan keuangan daerah dilakukan secara efisien, efektif, transparan, akuntabel, tertib, adil, patut, dan taat pada peraturan perundang-undangan.

5. Perkembangan Pengaturan Otonomi Daerah
Sejak NKRI lahir pada tahun 1945, otonomi daerah telah menjadi salah satu subsistem ketatanegaraan Indonesia (Pasal 18 UUD 1945). Secara konstitusional pemerintahan daerah dan otonomi daerah diatur dalam pasal 18 UUD 1945. Lebih lanjut Penjelasan UUD 1945 (yang telah dihapus dengan Perubahan UUD 1945), memberikan ketentuan mengenai pengaturan secara struktural dan perwilayahan pemerintahan daerah. Pada tingkat operasional, kebijakan tentang desentralisasi, otonomi, dan pemerintahan daerah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan masanya, di antaranya:
a. Periode 1945—1950
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1945, tentang Kedudukan Komite Nasional sebagai Badan Perwakilan Daerah.
2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1948, tentang Pemerintahan Daerah.

b. Periode 1950—1965
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1957, tentang Pemerintahan Daerah.
2. Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 dan No. 5 Tahun 1960, tentang Pemerintahan Daerah.
3. Undang-Undang No. 18Tahun 1965, tentangPokok-pokokPemerintahan Daerah.

c. Periode 1965—1998
1. Undang-Undang NO. 5 Tahun 1974, tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.
2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1979, tentang Pemerintahan Desa.

d. Periode 1998—sekarang
1. Ketetapan MPR RI No. XV/MPR/1998, tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI.
2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah.
3. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
4. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah.
5. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

6. Implementasi Otonomi Daerah
a. Otonomi daerah merupakan suatu keharusan bagi penyelenggaraan peme¬
rintahan NKRI mengingat luasnya wilayah dengan keanekaragaman yang
dimiliki serta luasnya rentang kendali pemerintahan.
b. Otonomi daerah diselenggarakan dalam rangka memperkokoh NKRI, bersendi pada kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan disesuaikan dengan kondisi, situasi, dan karakteristik daerah. Pemberian kewenangan urusan dari pemerintah pusat kepada daerah harus bersendi kepada otonomi nyata, bertanggung jawab, dinamis dan serasi.
c. Secara politis pemberian otonomi keoada daerah merupakan pelaksanaan
dan pengembangan demokratisasi pemerintahan yang memungkinkan dae¬rah mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat.
d. Otonomi daerah dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kemampuan
daerah untuk menjamin efektivitas dan efisiensi penyelenggaraannya, dengan tetap menjaga terpeliharanya keserasian dan keseimbangan antara pusat dan daerah serta antar daerah.
e. Otonomi daerah diselenggarakan dengan mengembangkan pola pengawasan yang memberikan keleluasaan, kebebasan, dan pengembangan dinamika sosial-ekonomi dan politik daerah, dilaksanakan secara sistematis dan efektif untuk meniadakan ekses yang mengarah timbulnya gerakan separatisme dan mencegah terjadinya proses disintegrasi.
f. Otonomi daerah diselenggarakan dengan berorientasi pada kepentingan masyarakat dan daerah yang bertumpu pada aspek sosial-budaya, adat istiadat dan kondisi karakteristik lainnya, yang perlu didekati dengan toleransi dan diperlukan jaminan kelestariannya.
g. Otonomi daerah diselenggarakan atas dasar kepentingan yang mengacu pada kesejahteraan dan keadilan sosial dalam bentuk kehidupan yang lebih baik dan bertumpu pada sumber daya daerah yang dapat menjamin pertum-buhan dan perkembangan daerah.
h. Otonomi daerah dapat berhasil apabila penyelenggara pemerintahan daerah (kepala daerah/wakil kepala daerah dan anggota DPRD) dan seluruh jajar-annya secara konsisten melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajibannya sesuai konsep, prinsip, dan nilai yang terkandung dalam Pancasila, yang diwujudkan dalam peningkatan pelayanan pada masyarakat, dengan:
1. Melaksanakan ketentuan-ketentuan yang mengacu pada Pancasila, serta mempertahankan dan memelihara NKRI, dengan memahami, mendalami dan mengimplementasikan nilai yang terkandung dalam Pancasila.
2. Meningkatkan kesejahteraan rakyat,Dalam rangka mengimplementasikan Pancasila harus mampu meningkat¬kan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat. Dalam rangka mengimplementasikan Pancasila harus mampu menerapkan semua sila Pancasila demi terwujudnya ketenteraman dan ketertiban masyarakat.
4. Melaksanakan kehidupan berdemokrasi, Dalam rangka mengimplementasikan Pancasila harus mampu menerapkan sila keempat Pancasila yaitu Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

7. Perencanaan Pembangunan Daerah
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah disusun perencanaan pembangunan daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pemba¬ngunan nasional. Perencanaan pembangunan daerah disusun oleh pemerin¬tahan daerah provinsi, kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya yang dilaksanakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.
Perencanaan pembangunan daerah disusun secara berjangka meliputi:
1. Rencana pembangunan jangka panjang daerah disingkat dengan RPJP daerah untuk jangka waktu 20 tahun yang memuat visi, misi.
2. Rencana pembangunan jangka menengah daerah, yang selanjutnya disebut
untuk jangka waktu 5 tahun.
3. RPJM daerah memuat arah kebijakan keuangan daerah, strategi pemba¬ngunan daerah, kebijakan umum, dan program satuan kerja perangkat dae¬rah, lintas satuan kerja perangkat daerah,
4. Rencana kerja pembangunan daerah, selanjutnya disebut RKPD, merupakan
penjabaran dari RPJM daerah untuk jangka waktu 1 tahun.
5. RPJP daerah dan RPJM ditetapkan dengan Perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

Sumber pendapatan daerah terdiri atas:
a. Pendapatan asli daerah, yang selanjutnya disebut PAD, yaitu (a) hasil pajak
daerah, (b) hasil retribusi daerah, (c) hasil pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan, dan (d) Iain-lain PAD yang sah;
b. Dana perimbangan; serta
c. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan undang-undangyang pelaksanaannya di daerah diatur lebih lanjut dengan Perda.
Dana perimbangan terdiri atas (a) Dana Bagi Hasil, (b) Dana Alokasi Umum (DAU), dan (c) Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Bagi Hasil ber¬sumber dari pajak dan sumber daya alam.


DAU dialokasikan berdasarkan persentase tertentu dari pendapatan dalam negeri bruto yang ditetapkan dalam APBN. DAK dialokasikan dari APBN kepada daerah tertentu dalam rangka pendanaan pelaksanaan desentralisasi untuk:
1. Mendanai kegiatan khusus yang ditentukan oleh pemerintah pusat atas dasar prioritas nasional, dan
2. Mendanai kegiatan khusus yang diusulkan daerah tertentu.


8. Rencana tata Ruang Wilayah
Dalam otonomi daerah dikenal adanya kawasan perkotaan dan kawasan pedesaan. Kawasan perkotaan dapat berbentuk:
1. Kota sebagai daerah otonom,
2. Bagian daerah kabupaten yang memiliki ciri perkotaan, atau
3. Bagian dari dua atau lebih daerah yang berbatasan langsung dan memiliki
ciri perkotaan.

9. Tantangan Implementasi
Dalam implementasi otonomi daerah, sebuah daerah otonomi harus mampu mengatasi berbagai permasalahan yang akan timbul di dalam mengisi kehidupan otonominya. Berbagai permasalahan itu dapat berasal dari sikap men¬tal para penguasa daerah dan rakyatnya, perolehan keuangan daerah, atau kualitas aparatur pemerintah daerah.
a. Sikap mental para penguasa daerah dan rakyatnya, menciptakan raja-raja kecil di daerah, peraturan dibuat untuk kepentingan dan keberlanjutan kursi kekuasaan.
b. Kewenangan pemerintah pusat-daerah, mengenai penggalian sumber dana dan pembiayaan pembangunan yang didukung oleh semangat desentralisasi dan otonomi daerah.
c. Perolehan keuangan daerah, antara lain penguasa daerah membuat peraturan
yang memungkinkan memperoleh pendapatan asli daerah dengan mengorbankan rakyatnya melalui berbagai pungutan pajak dan pungutan retribusi lain yang memberatkan penduduk.
d. Aparatur pemerintah daerah, antara lain rendahnya kualitas aparatur peme¬rintah daerah karena sistem rekrutmen yang kolusi dan nepotisme mengabaikan kemampuan dan profesionalitas.

10. Pembinaan Daerah Frontier
Daerah frontier adalah daerah milik wilayah geografi NKRI yang letaknya berbatasan langsung dengan negara tetangga. Dalam Era otonomi daerah sekarang ini, pemerintah daerah memiliki peran besar di dalam pembinaan daerah frontier dalam satu paket pembangunan daerah yang menjadi wilayah otonominya. Perhatian dan dukungan pemerintah pusat serta peran yang dimainkan pemerintah daerah merupakan indikator keberhasilan pembangunan daerah frontier. Daerah frontier dalam wilayah pemerintah daerah juga harus diperhitungkan sebagai daerah yang penting dibangun agar hasil-hasil pembangunan dapat merata, kesejahteraan dan keamanan dapat menyebar, kedaulatan wilayah geo¬grafi NKRI pun dapat terjamin. Tujuan kebijakan penanganan daerah frontier pada intinya adalah untuk menjadi dan mengamankan wilayah perbatasan negara dari upaya pengambil-alihan pulau-pulau dan/atau Iaut di perbatasan oleh negara tetangga, serta eksploitasi ilegal sumber daya alam, baik oleh penduduk maupun karena didorong oleh kepentingan negara tetangga. Sasaran yang ingin dicapai di dalam pembinaan daerah frontier antara lain penduduk yang bermukim di daerah frontier memiliki kemampuan dan keterampilan untuk mengeksploitasi sumber daya alam; potensi sumber daya alam dapat lebih dilindungi untuk kepentingan bangsa dan negara, kedaulatan seluruh wilayah NKRI dapat lebih terjamin.

Bidang-bidang pembinaan yang dilaksanakan melalui program-pro¬gram pembangunan daerah frontier meliputi bidang astagatra, yaitu:
1. Geografi negara.
2. Keadaan dan kekayaan alam.
3. Keadaan dan kemampuan penduduk.
4. Ideologi.
5. Politik.
6. Ekonomi.
7. Sosial-Budaya.
8. Pertahanan-Keamanan.

Untuk membina daerah frontier seharusnya dipahami lebih dahulu segi kelemahan dan ancamannya agar mampu menemukan langkah-langkah yang dapat dijadikan program pembangunannya. Beberapa kelemahan yang dihadapi daerah frontier antara lain:
1. Sumber daya manusia masih rendah dalam jumlah ataupun dalam kemampuan dan keterampilan. Konsekuensinya, penduduk setempat belum dapat diandalkan untuk melaksanakan pembangunan.
2. Lapangan dan kesempatan kerja bagi penduduk masih rendah. Konsekuen¬sinya, tingkat pendapatan penduduk rendah.
3. Kualitas kehidupan sejahtera masih rendah dan tidak merata di sepanjang garis perbatasan dengan negara tetangga. Konsekuensinya, kegiatan pelintas batas ilegal dan berbagai bentuk penyelundupan sering terjadi.
4. Sarana dan prasarana dengan akses yang sangat minini di sepanjang garis perbatasan pada berbagai aspek kehidupan, seperti pendidikan, kesehatan, sanitasi dan drainase, listrik dan air bersih, transportasi, telekomunikasi, irigasi, dan pasar. Konsekuensinya, penduduk cenderung berorientasi kepada negara tetangga yang tingkat aksesibilitasnya relatif lebih tinggi.
5. Penegasan batas daerah frontier dengan negara tetangga masih banyak yang belum diwujudkan dalam bentuk akta kesepahaman bilateral. Konsekuen¬sinya, kepastian hukum tentang larangan mengelola dan mengembangkan kawasan sepanjang garis perbatasan tidak berfungsi semestinya.
6. Rencana tata ruang dan pemanfaatan sumber daya alam kurang terkoordinasi antarpemerjntah daerah yang berbatasan. Konsekuensinya, timbul konflik antarpemerintah daerah yang mengakibatkan terjadinya penelantaran pembinaan daerah frontier.
7. Pengembangan daerah frontier belum menjadi prioritas pembangunan sehingga alokasi pendanaan sangat minim. Kebijakan pemerintah tentang pengembangan daerah dalam kategori tertinggal sering tidak melibatkan daerah perbatasan. Konsekuensinya, tingkat kesenjangan antara daerah frontier dengan daerah lain semakin lebar.
8. Kelembagaan dan aparatur pemerintah di daerah frontier masih sangat terbatas; demikian juga dukungan operasional pelaksanaan tugas pemerintahan tidak sebanding dengan tingkat kerawanannya yang tinggi. Konsekuensinya, banyak aparat yang tidak nyaman dan aman melaksanakan tugasnya


Adapun yang dianggap sebagai ancaman dalam membina daetah frontier antara lain:
1. Ancaman terhadap kedaulatan NKRI. Ancaman ini dapat terjadi karena kontak antar penduduk daerah frontier dengan penduduk negara tetangga baik secara ekonomi maupun sosial-budaya.
2. Ancaman terhadap pulau dan sumber daya alam. Ancaman ini dapat terjadi sebagai akibat (a) faktor internal, yaitu pemerintah pusat atau pe¬merintah daerah membiarkan pulau-pulau di daerah frontier tetap terlantar, (b) faktor eksternal, yaitu anggapan negara tetangga bahwa pulau-pulau dijajah.
3. Ancaman keamanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar